Belajar Menolak

Belajar Menolak: Pengalaman Pribadiku Membangun Batasan

Ada satu pelajaran hidup yang butuh waktu lama banget buat aku pelajari: belajar menolak.

Kelihatannya simpel ya?
Cuma bilang “nggak” aja gitu.
Tapi kenyataannya, buat orang kayak aku yang dulu suka banget cari aman, cari “iya” dari orang lain, bilang “tidak” tuh rasanya kayak… dosa besar.

Aku pernah ada di fase di mana aku selalu bilang “iya” buat semua orang.
Teman minta bantuan dadakan? Iya.
Atasan minta revisi jam 11 malam? Iya.
Keluarga minta tolong, padahal aku lagi burn out? Iya juga.

Capek? Jelas.
Tapi lebih takut dianggap egois.

Sampai akhirnya, satu momen kecil ngebuka mataku lebar-lebar.

Momen Patah: Ketika “Iya” Membuatku Hancur

Belajar Menolak

Aku masih ingat banget.
Waktu itu hari Kamis, sekitar jam 10 malam.
Aku lagi di depan laptop, lelah, mata udah perih.
Tiba-tiba ada notifikasi dari bos:
“Bisa revisi satu file lagi? Nggak akan lama kok.”

Aku nyengir kecut.
Tau banget itu “nggak lama” bisa jadi 2 jam sendiri.

Tapi… seperti biasa… aku ketik:
“Oke, Pak. Siap.”

Dalam hati aku berontak,
tapi di mulut aku tetap iya.

Besoknya, tubuhku tumbang.
Demam tinggi, burnout parah, dan akhirnya harus ijin sakit hampir seminggu.

Di situ aku sadar, menolak itu bukan egois. Belajar Menolak itu perlu.

Kalau aku nggak jaga batasan, tubuhku sendiri yang bakal menyerah.

Kenapa Susah Banget Bilang “Tidak”?

Aku mulai refleksi.
Kenapa sih, bilang “nggak” itu kayak dosa?

Setelah ngobrol sama teman, baca-baca juga di blog kesehatan mental, aku nemu beberapa jawabannya:

  • Takut Ditolak:
    Dalam hati kecil, aku takut kalau aku bilang “nggak”, orang bakal marah atau ninggalin aku.

  • Pengen Jadi “Orang Baik”:
    Dari kecil diajarin buat nurut, bantu orang lain, tanpa banyak protes.

  • Takut Dicap Egois:
    Masyarakat kita kadang terlalu angkat-angkat orang yang “mengorbankan diri” sebagai pahlawan.

Padahal, ada garis tipis antara baik hati dan menghancurkan diri sendiri.

Belajar Menolak: Perjalanan Penuh Rasa Bersalah

Belajar Menolak

Percaya nggak, waktu pertama kali aku berani bilang “nggak”, aku malah… nangis.
Nangis beneran.

Ada teman yang ngajak aku ikut proyek tambahan.
Dulu aku pasti langsung iya.
Tapi kali itu, aku tarik napas dalam-dalam dan jawab:

“Maaf banget, aku nggak bisa commit sekarang.”

Setelah itu, aku matiin HP.
Gemeteran. Takut.
Takut dia kecewa, marah, atau ngomongin aku di belakang.

Tapi tahu nggak apa yang terjadi?
Dia cuma bales:
“Oke, ngerti kok. Semangat ya.”

Hah?? Itu doang?

Ternyata dunia nggak kiamat cuma karena aku bilang “nggak”.

Itu pelajaran pertama:

“Kita sering lebih takut sama reaksi orang lain daripada reaksi nyata mereka.”

Tips Pribadi: Cara Belajar Menolak Tanpa Rasa Bersalah

Aku mau bagi tips yang aku pelajari dari pengalaman sendiri (dan kadang jatuh bangun juga sih 😅):

1. Berlatih dari Hal Kecil

Jangan langsung target bilang “nggak” ke bos.
Mulai dari hal kecil.
Misal, kalau teman nawarin makanan yang kamu nggak suka, coba bilang,
“Makasih, tapi aku skip dulu ya.”

Simple.
Latihan kecil ini ngelatih mental buat lebih berani.

2. Gunakan Kata yang Ramah Tapi Tegas

Nggak harus galak.
Nggak harus jutek.
Kamu bisa bilang dengan nada sopan tapi tetap tegas:

“Sayang sekali aku nggak bisa bantu kali ini.”
“Aku mau banget bantu, tapi saat ini aku lagi overcommitment.”

Tegas, tapi tetap respek.

3. Ingat Prioritasmu

Sebelum jawab “iya” otomatis, tanya ke diri sendiri: “Ini sejalan nggak sama apa yang lagi aku butuhkan atau prioritaskan?”

Kalau jawabannya “nggak”, kamu berhak untuk Belajar Menolak.

4. Jangan Over-Explain

Ini penyakit lama aku.
Kalau mau nolak, aku kasih 1001 alasan.

Padahal makin banyak alasan, makin kayak kamu merasa bersalah.

Kadang cukup:
“Aku nggak bisa.”
Nggak perlu panjang lebar.

Frustasi di Tengah Perjalanan: Antara Guilt Trip dan Self-Love

Belajar Menolak

Walaupun udah latihan, rasa bersalah itu masih suka nongol.
Apalagi kalau lihat ekspresi kecewa dari orang yang aku tolak.

Tapi aku belajar satu prinsip sederhana: Kalau orang itu beneran sayang sama kamu, mereka akan ngerti batasanmu.

Kalau mereka marah, mungkin hubungan itu memang perlu dievaluasi.

Sakit sih, jujur.
Nggak gampang.
Tapi lebih baik kehilangan hubungan yang toxic daripada kehilangan kesehatan mental sendiri.

Hasil Akhir: Hidup Lebih Lega dan Bahagia

Setelah berbulan-bulan berlatih Belajar Menolak, aku ngerasain banget perubahan hidup.

Aku punya lebih banyak waktu untuk:

  • Istirahat dengan tenang

  • Fokus ke pekerjaan yang benar-benar penting

  • Menjaga kesehatan mental

  • Ngejalanin hobi tanpa rasa bersalah

Dan yang paling penting, aku jadi lebih jujur sama diri sendiri.

Dulu aku hidup buat memenuhi ekspektasi orang.
Sekarang aku hidup buat diriku sendiri — tetap baik sama orang lain, tapi juga setia sama batasanku, dikutip dari laman resmi IDN Times.

Kesimpulan: Belajar Menolak adalah Bentuk Cinta

Belajar menolak bukan berarti kamu jadi orang jahat.
Bukan berarti kamu egois.

Belajar menolak adalah bentuk cinta — untuk dirimu sendiri dan orang lain.

Karena saat kita jujur soal batasan, kita juga ngasih orang lain kesempatan buat lebih respek sama kita.

So, kalau kamu lagi belajar berani bilang “tidak”, ingat:

Kamu berhak punya ruang untuk dirimu sendiri.
Kamu berhak memilih prioritas.
Kamu berhak menjaga damai di dalam dirimu.

Dan percayalah, dunia nggak bakal runtuh cuma karena kamu bilang “nggak”.

Baca Juga Artikel dari: Kisah Heng Swee Keat: Ketika Ambisi Harus Mengalah

Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Information