Page Contents
Pertama kali lihat Tari Jaipong waktu kecil, aku jujur nggak ngerti kenapa semua orang heboh. Tapi begitu dewasa, baru deh kerasa betapa Jaipong itu indahnya keterlaluan.
Gerakannya luwes banget. Ada kelincahan, ada kekuatan, tapi tetap terasa anggun. Musik pengiringnya juga khas, pakai kendang, gong, dan suling Sunda—bikin suasana langsung hidup. Setiap ketukan kendang tuh kayak ngasih energi buat penari dan penonton.
Yang paling aku suka dari Jaipong? Ekspresi wajah penarinya. Mereka bukan cuma “nari” tapi kayak “bercerita” lewat gerak tubuh. Ada godaan kecil, ada semangat membara, ada keluwesan… pokoknya full paket.
Kadang-kadang kalau lagi bosan atau stress, aku suka nonton rekaman Jaipongan di YouTube. Rasanya kayak recharge energi. Emang deh, Jaipong itu bukan cuma soal tari, tapi soal jiwa.
Kenapa Tari Jaipong Harus Dilestarikan?
Ini pertanyaan Fatcai99 penting banget. culture Tari Jaipong itu lahir dari budaya lokal Sunda—khususnya di Bandung sekitar tahun 1960-an—waktu itu dipopulerkan sama maestro kayak Gugum Gumbira. Bayangin aja, dari sekian banyak budaya global yang masuk ke Indonesia, Jaipong tetap bisa bertahan dan ngasih identitas buat kita.
Tapi sekarang? Sayangnya, anak muda makin jarang yang belajar Jaipong. Banyak yang lebih pilih dance K-Pop, hip-hop, atau dance modern lain. Aku nggak anti kok sama itu, tapi ya… Jaipong jangan sampai ditinggalin lah.
Kalau bukan kita yang melestarikan, siapa lagi?
Apalagi Jaipong itu bukan sekadar seni tari. Di dalamnya ada filosofi hidup orang Sunda: semangat, keceriaan, rasa hormat, dan ekspresi diri. Kalau Jaipong hilang, kita kehilangan sebagian dari identitas budaya kita sendiri.
Tips Mempelajari Tari Jaipong (Dari Orang Awam Buat Orang Awam)
Jujur ya, aku sempat coba belajar Tari Jaipong. Nggak gampang! Tapi seru banget.
Ini tips dari pengalaman pribadi aku:
-
Mulai dari nonton banyak video. Nggak cukup nonton sekali. Perhatikan gerak kaki, tangan, dan terutama ekspresi muka. Jaipong itu banyak “nyawa”-nya di mimik wajah.
-
Ambil kelas atau workshop. Banyak sanggar di kota besar kayak Jakarta, Bandung, sampai Yogyakarta yang buka kelas Jaipong. Cari yang gurunya sabar, karena teknik dasar kayak “ketuk tilu” dan “pencugan” itu butuh latihan serius.
-
Latihan keseimbangan dan fleksibilitas. Jaipong itu butuh badan yang lentur. Jadi sebelum mulai belajar gerakan, biasa aku stretching dulu, minimal 10 menit.
-
Jangan takut salah! Ini penting. Aku awal-awal sering banget salah langkah, malah kadang malu sendiri. Tapi guru aku bilang, “Tari itu soal rasa. Salah itu bagian dari belajar.” Jadi yaudah, terus gas aja.
-
Rasakan musiknya. Jangan cuma hitung langkah, tapi masuk ke dalam irama kendang dan sulingnya. Tari Jaipong itu harus sinkron dengan musik, baru keluar auranya.
Kalau kamu konsisten, dalam 3–4 bulan aja udah mulai kelihatan luwes. Yang penting, nikmati prosesnya.
Tari Jaipong di Mata Pecinta Seni
Buat orang-orang yang cinta seni tradisional kayak aku, Jaipong itu semacam permata tersembunyi. Ada sesuatu yang sangat jujur dalam setiap gerakan. Beda banget sama tarian modern yang kadang lebih banyak bergantung pada teknik keren atau gerakan heboh.
Di Jaipong, emosi dan cerita jauh lebih penting.
Aku pernah ngobrol sama teman pecinta seni dari Jepang. Dia bilang, “Jaipong itu seperti sumur tua—dari luar biasa sederhana, tapi kalau kau gali dalam-dalam, kau akan menemukan kekayaan yang luar biasa.”
Dan aku setuju banget. Tari Jaipong itu semakin dipelajari, semakin terasa dalam maknanya. Nggak cuma soal teknik, tapi soal filosofi hidup. Soal keteguhan, keceriaan, dan kehormatan.
Sedikit Menengok Sejarah Tari Jaipong
Kalau kita balik ke tahun 1960-an, Jaipong ini sebenarnya lahir sebagai bentuk “perlawanan halus” loh. Ceritanya, waktu itu musik tradisional Sunda kayak ketuk tilu dianggap “kuno” dan mulai kalah sama musik modern. Nah, Gugum Gumbira—seorang seniman asal Bandung—ngerasa harus ada yang dilakukan.
Akhirnya beliau menggabungkan unsur ketuk tilu, pencak silat, wayang golek, dan musik rakyat Sunda… lalu lahirlah Tari Jaipong!
Yang unik, waktu awal-awal Tari Jaipong ini sempat dipandang kontroversial. Gerakan pinggulnya dianggap terlalu “provokatif” oleh sebagian orang tua jaman dulu. Tapi lama-kelamaan, orang sadar kalau Jaipong itu bukan sekadar goyangan, tapi ekspresi energi, semangat, bahkan rasa cinta terhadap budaya sendiri.
Kalau nggak ada orang sekreatif Gugum Gumbira, mungkin kita nggak akan kenal Jaipong seperti sekarang ini.
Tokoh-Tokoh yang Bikin Jaipong Melejit
Selain Gugum Gumbira, ada beberapa nama lain yang harus banget kita apresiasi.
Salah satunya adalah Tati Saleh. Dia ini salah satu penari Jaipong legendaris yang sering tampil di panggung nasional bahkan internasional. Lewat gerakan lenturnya, Tari Jaipong jadi makin terkenal.
Terus ada juga Ida Laila, penyanyi yang banyak membawakan lagu-lagu pengiring Jaipong. Musik yang catchy dan irama kendangnya yang kuat bikin Jaipong makin hidup.
Buat aku pribadi, mengenal nama-nama ini bikin ngerasa lebih “dekat” sama Jaipong. Kayak ngerti perjuangan mereka mempertahankan budaya Sunda lewat seni.
Dasar-Dasar Gerakan Tari Jaipong Buat Pemula
Kalau kamu mau belajar Jaipong, ada beberapa gerakan dasar yang harus dikuasai:
-
Pencugan
Ini gerakan menghentak kaki sambil badan sedikit melenting ke atas. Kesannya kayak lincah dan penuh energi. Kalau salah teknik, dijamin kaki pegel semua deh, hahaha. -
Sigeh
Gerakan meliukkan tubuh secara halus sambil jalan. Ini gerakan yang bikin Jaipong kelihatan lentur dan seksi (dalam artian positif yaa). -
Gitek
Gerakan kecil kayak sentakan pinggul yang cepat. Ini yang sering bikin Tari Jaipong kelihatan hidup dan enerjik. -
Ngoreh
Gerakan menyapu atau mengusap lantai dengan kaki sambil menari. Aku pribadi sering banget salah pas ngelakuin ini di awal-awal belajar… kadang kaki malah keseleo dikit, hehe.
Tips jujur dari aku: jangan buru-buru. Nikmatin setiap latihan. Lama-lama badan kita akan “hafal” sendiri ritmenya.
Generasi Muda dan Tari Jaipong: Harapan Baru
Yang bikin aku lega sekarang, makin banyak anak muda yang mulai me-rebranding Tari Jaipong.
Ada yang ngegabungin Jaipong dengan dance hip-hop. Ada juga yang bikin video kreatif Jaipong di TikTok, pakai kostum modern tapi tetap mempertahankan gerakan klasiknya.
Aku pernah nonton satu pentas Jaipong modern di Jakarta. Mereka pakai sneakers, hoodie, tapi pas musik kendang mulai… BOOM! Gerakannya tetap Jaipong banget! Rasanya kayak nonton pertunjukan budaya yang disuntik semangat muda.
Walaupun ada pro kontra (katanya takut Jaipong malah “melenceng” dari aslinya), menurut aku selama nilai dasarnya tetap dijaga, itu malah jadi jalan buat Tari Jaipong tetap hidup.
Kalau kita kaku, budaya malah bisa mati. Tapi kalau kita kreatif, budaya bisa bernafas di dunia baru. Setuju nggak?
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Tari Trunajaya: Keanggunan dan Semangat dalam Setiap Gerakan 2025 disini