Page Contents
Gue inget waktu pertama kali denger nama Heng Swee Keat disebut-sebut sebagai calon kuat pengganti PM Lee Hsien Loong. Waktu itu, semua headline bilang: “Inilah pemimpin masa depan Singapura.” Bahkan di antara teman-teman gue yang tinggal di sana, banyak yang bilang dia orangnya cerdas, rapi, dan punya track record yang solid.
Dan bener sih, liat aja rekam jejaknya:
-
Mantan Kepala Bank Sentral Singapura (MAS)
-
Mantan Menteri Pendidikan
-
Kemudian Menteri Keuangan
-
Wakil Perdana Menteri
Itu daftar CV yang bikin kita mikir, “Orang ini pasti naik terus.”
Tapi kemudian… di tahun 2021, dia umumkan mundur dari pencalonan PM. Alasannya? Kesehatan dan beban peran yang terlalu berat untuk ditanggung dalam jangka panjang.
Dan lo tau apa yang gue rasain waktu itu?
Campuran antara kaget, kagum, dan… tertampar.
Di Dunia yang Penuh Ambisi, Dia Justru Mundur
Gue hidup di lingkungan yang ngajarin bahwa lo harus naik terus. Gak boleh mundur. Gak boleh lemah. Tapi apa yang dilakukan Heng Swee Keat malah kebalikannya dari semua itu.
Dan justru karena itu, gue jadi respek berat.
Lo bayangin, lo udah di ambang puncak. Semua orang dukung lo. Partai lo percaya sama lo. Tapi lo liat ke dalam diri sendiri, dan dengan jujur bilang, “Gue gak sanggup bawa negara ini ke masa depan secara optimal.”
Gila. Butuh nyali yang lebih gede buat mundur dibanding terus maju dengan beban setengah hati.
Gue ngerasa itu pelajaran penting banget, apalagi buat kita-kita yang sering maksa diri demi ambisi, tapi lupa ngukur kapasitas dan konsekuensinya.
Leadership Gak Selalu Harus Naik Tangga
Selama ini, kita dikasih gambaran bahwa jadi pemimpin berarti naik—dari staff ke manajer, ke direktur, ke CEO. Tapi dari kisah Heng Swee Keat, gue belajar bahwa kepemimpinan sejati itu justru ketika lo tahu kapan harus turun.
Gue pernah juga ngalamin momen kayak gitu, meski dalam skala kecil. Waktu itu gue ditunjuk jadi kepala proyek. Tapi di tengah jalan, kesehatan mental gue goyang parah. Ngerasa overwhelmed, sering insomnia, dan mulai kehilangan arah. Tapi gengsi bikin gue tetap jalanin.
Sampai akhirnya, gue ambruk. Harus cuti panjang.
Kalau waktu itu gue cukup jujur sama diri sendiri kayak Heng Swee Keat, mungkin gue bisa selamatin diri lebih awal. Dan dari beliau, gue belajar: mundur itu bukan berarti gagal—mundur itu bentuk cinta pada tanggung jawab yang terlalu penting untuk lo bawa dengan setengah tenaga.
Heng Swee Keat dan Cara Dia Bangun Kepercayaan Tanpa Banyak Gaya
Yang menarik dari figur ini tuh gayanya. Bukan tipe flamboyan, bukan juga tukang retorika. Tapi tiap kali dia bicara, ada kedalaman dalam setiap pernyataannya. Pas pandemi, waktu dia masih jadi Menteri Keuangan, dia yang susun anggaran darurat buat bantu warga Singapura.
Gue sempat nonton cuplikan pidatonya. Biasa aja, gak bombastis. Tapi datanya kuat, nada suaranya tenang, dan yang paling penting: kerasa dia bener-bener niat.
Dan ini bikin gue sadar, kadang pemimpin terbaik itu bukan yang paling rame, tapi yang paling bisa dipercaya bahkan dalam diam, dikutip dari laman resmi Wikipedia.
Karier Masih Lanjut, Tapi dengan Arah yang Lebih Sehat
Setelah mundur dari pencalonan PM, Heng Swee Keat tetap jadi Menteri Koordinator bidang Kebijakan Ekonomi, peran penting yang lebih fokus dan lebih manageable. Dan menurut gue, ini keputusan yang dewasa banget.
Dia tetap kontribusi, tapi gak dengan paksaan untuk jadi “orang nomor satu”.
Dan ini pelajaran penting lagi: hidup itu bukan kompetisi satu jalur. Kadang lo bisa berkontribusi lebih besar dari posisi yang lebih kecil.
Penutup: Pelajaran Hidup dari Pria yang Tahu Kapan Harus Berkata “Cukup”
Gue gak kenal Heng Swee Keat secara pribadi, tapi dari kisah dia, gue dapet banyak banget insight hidup:
-
Jangan ukur sukses cuma dari seberapa tinggi posisi lo.
-
Kadang keputusan mundur adalah bentuk keberanian paling besar.
-
Prioritaskan integritas dan kesehatan di atas ambisi.
-
Pemimpin sejati itu bukan yang merasa sanggup terus, tapi yang tahu batas dan bertanggung jawab atas dampaknya.
Dan mungkin, itu yang harus mulai kita ajarkan ke generasi sekarang—bahwa jadi hebat bukan berarti gak boleh berhenti. Tapi tahu kapan lo berhenti, dan kenapa, itulah yang bikin lo hebat.
Baca Juga Artikel dari: Tony Sumampau dan Saya: Belajar Cinta Alam dari Sosok
Baca Juga Konten dengan Artikel Terkait Tentang: Bussiness